Halaman

Jumat, 28 September 2012


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, baik yang berasal dari dalam laut maupun dari daratan. Dengan melimpahnya sumber daya alam tersebut, maka mendorong masyarakat melakukan kegiatan ekonomi yang selalu berkembang, karena pemanfaatan sumber daya alam atau kebutuhan akan sumber daya alam juga terus meningkat. Begitu juga dengan pajak yang dapat meningkatkan penerimaan negara, juga terus meningkat. Dalam hal penyerahan barang dan atau jasa dalam negeri atau dalam daerah pabean (menurut pajak) maka pemerintah wajib memungut pajak pertambahan nilai. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
            PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya adalah pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN tersebut.












BAB II
PEMBAHASAN

A.   Subjek PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah yang pajak dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang dan atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Atau pajak atas konsumsi barang dan jasa di daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.

Adapun subjek dari PPN ini ada 2 (dua), yaitu :
1.  Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. Dan Pengusaha Kena Pajak atau PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang.

2.  Bukan Pengusaha Kena Pajak (non PKP)
Bukan Pengusaha Kena Pajak atau bukan PKP adalah orang atau badan yang mengimpor BKP, memanfaatkan jasa atau BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, dan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.


B.   Objek PPN
Berdasarkan UU No.42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau selanjutnya disebut UU PPN 1984.
Adapun objek PPN adalah
 sebagai berikut : (pasal 4 ayat 1)
a.    Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
b.    Impor Barang Kena Pajak;
c.    Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
d.    Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
e.    Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
f.     Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g.    Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
h.    Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 16C :
PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dalam keputusan menteri keuangan.

Pasal 16D :
PPN dikenakan atas penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak masukkannya tidak dapat dikreditkan sebagimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (8) huruf b dan c.
Syarat Penyerahan Terutang PPN Pasal 16D
1.  Yang melakukan penyerahan atau pemindahtanganan adalah Pengusaha Kena Pajak
2.  Perolehan aktiva tersebut bukan untuk diperjualbelikan atau sebagai barang dagangan.
3.  Perolehan aktiva tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dan bukan jenis kendaraan sedan dan station wagon.

Yang dimaksud dengan pengeluaran yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.


1.  Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2) :
a.  penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b.  pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c.   penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
d.  pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
e.  Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
f.    penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang   atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g.  penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h.  penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena  Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha    Kena  Pajak  kepada   pihak  yang  membutuhkan Barang Kena Pajak.

2.  Bukan Penyerahan Barang Kena Pajak
Pasal 1A ayat (2) :
a.  penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b.  penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;
c.   penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f  dalam  hal  Pengusaha  Kena  Pajak melakukan  pemusatan tempat  pajak terutang;
d.  pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka  penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,  dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang   melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan   adalah Pengusaha Kena Pajak;
e.  Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak   Masukan atas  perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.


3.  Syarat Penyerahan Kena Pajak
a.  Barang Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak.
b.  Barang Tidak Berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
c.   Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.
d.  Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
e.  Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.

4.  Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Pengenaan PPN atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud antara lain atas:
a.  penyerahan Barang Kena Pajak (Berwujud dan tidak  Berwujud) didalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; (Pasal 4 ayat (1) huruf a).
b.  pemanfaatan  Barang  Kena  Pajak Tidak  Berwujud  dari  luar  Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; (Pasal 4 ayat (1) huruf d).
c.   Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. (Pasal 4 ayat (1) huruf g).

5.  Penyerahan Jasa Kena Pajak
Pasal 1 angka 5 dan 6 UU PPN 1984.
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,  kemudahan, atau hak tersedia  untuk dipakai, termasu jasa yang dilakukan untuk    menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
Penyerahan Jasa Kena Pajak :
a.  Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
b.  Penyerahan jasa  yang terutang  pajak harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
1)  jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak.
2)  penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.
3)  penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4)  Dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak

c.   Termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak (JKP) yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan secara cuma-cuma.

C.   Bukan Objek PPN
Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam barang sebagai berikut :
1.      Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya
a.   Minyak mentah (crude oil)
b.   Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat
c.   Panas bumi;
d.   Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit
e.   Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f.    Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit.

2.      Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
a.   Beras, Gabah, Sagu, Jagung, Kedelai;
b.   Garam baik yang beryodium maupun tidak beryodium
c.   Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
d.   Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan,atau dikemas
e.   Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas
f.    Buah-buahan yaitu buah segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris dan dikemas atau tidak dikemas.
g.   Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.


3.      Uang, emas batangan, dan surat berharga
4.      Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau catering. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pengenaan pajak berganda karena sudah merupakan objek pengenaan Pajak Daerah.

Jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam jasa sebagai berikut :
1.     Jasa pelayanan kesehatan medis
2.     Jasa pelayanan sosial
3.     Jasa pengiriman surat dengan perangko
4.     Jasa asuransi
5.     Jasa keuangan
6.     Jasa keagamaan
7.     Jasa pendidikan
8.     Jasa kesenian dan hiburan
9.     Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan
10.  Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri
11.  Jasa tenaga kerja
12.  Jasa perhotelan
13.  Jasa-jasa yang disediakan oleh pemerinth dalam rangka menjalankan pemerinthan secara umum
14.  Jasa penyediaan tempat parkir
15.  Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam
16.  Jasa pengiriman uang dengan wesel pos
17.  Jasa boga atau katering.
D.   Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan undang-undang. Dengan kata lain PKP adalah Pengusaha yang usahanya adalah memperdagangkan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Apabila Pengusaha tersebut memperdagangkan atau melakukan penyerahan barang yang tidak kena pajak atau jasa yang tidak kena pajak, maka Pengusaha tersebut adalah bukan Pengusaha Kena Pajak.

Terdapat pengecualian untuk pengusaha kecil sesuai dengan pasal 3A ayat 1 UU PPN yang berbunyi: Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

Berdasarkan Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 diatur bahwa Pengusaha Kecil tidak termasuk sebagai PKP sehingga tidak diwajibkan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Namun demikian, berdasarkan Pasal 3A ayat (1a) UU PPN 1984, Pengusaha Kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

Batasan Pengusaha Kecil sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 68/PMK.03/2010 adalah sebagai berikut :
1.    Pengusaha kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
2.    Jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya.
3.    Pengusaha yang masuk kriteria sebagai pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM atas penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukannya.

Sehingga kepada pengusaha kecil diberikan kebebasan memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak atau tidak. Jika memilih untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, maka wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 3A ayat 1 UU PPN.

E.   Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

Sesuai dengan Peraturan Direktur Jendral Pajak,
Nomor: 65/PJ/2010, yang memuat bahwa Faktur Pajak harus dibuat pada:


a.  Saat penyerahan BKP dan/atau JKP
b.  Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum   penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP
c.   Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagai tahap pekerjaan, atau
d.  Saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada bendahara pemerintah sebagai pemungut PPN

Nota Retur
Pasal 5A UU PPN 1984 dan PMK-65/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan  Pajak  Penjualan  atas  Barang  Mewah  Untuk  Barang  Kena  Pajak  dan  Jasa Kena Pajak yang Dikembalikan.
a.  Nota Retur dibuat apabila PKP pembeli mengembalikan BKP/JKP.
b.  Fungsi Nota Retur Bagi pengembalian BKP mengurangi:
1)  Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak atau Pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
2)  biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan  sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
3)  biaya atau harta bagi Pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas  Barang  Mewah  atas  Barang  Kena  Pajak yang  dikembalikan  tersebut telah  dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

c.   Nota  Retur  harus  dibuat  dalam  Masa  Pajak  yang  sama  dengan Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak.

Fungsi Nota Retur Bagi pengembalian JKP mengurangi:
a.  Pajak  Masukan dari  Pengusaha  Kena  Pajak (PKP)  Penerima Jasa, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
b.  biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang    dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan       sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c.   biaya atau harta bagi Penerima Jasa yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena    Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

F.    Saat dan Tempat Terutang PPN
Saat Terutang PPN
Dalam pasal 11 UU PPN 1984 tentang saat terhutangnya pajak, terhutang pada saat :
1.     Penyerahaan barang kena pajak.
2.     Impor barang kena pajak saat masuk daerah pabean
3.     Penyerahaan jasa kena pajak
4.     Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud diluar daerah pabean
5.     Pemanfaatan jasa kena pajak tidak berwujud diluar daerah pabean
6.     Ekspor barang kena pajak berwujud
7.     Ekspor barang kena pajak tidak berwujud
8.     Ekspor jasa kena pajak
9.     Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan barang kena pajak atau sebelum penyerahan jasa kena pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud atau jasa kena pajak diluar daerah pabean, saat terhutangnya pajak adalah pada saat pembayaran
10.  Direktur Jenderal Pajak dapat menentapkan saat lain sebagai saat terhutangnya pajak dalam hal saat terhutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.

Dalam pasal 13 peraturan pemerintah No.143 tahun 2000 yang sebagaimana telah diubah dengan peraturan pemerintah No.24 tahun 2002 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari UU PPN 1984 pasal 11 UU PPN dijelaskan saat terhutangnya pajak sebagai berikut :
1.    Terhutangnya pajak atas penyerahan barang kena pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat barang kena pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ke tiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat barang kena pajak tersebut siderahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkut.
2.    Terhutangnya pajak atas penyerahan barang kena pajak berwujud yang menurut sifata atau hukumnya beerupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk mengunakan atau mengusai barang kena pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
3.    Terhutangnya pajak atas barang kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa dibawah ini.
a.  Saat harga penyerahan barang kena pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh PKP.
b.   Saat harga penyerahan barang kena pajak tidak berwujud ditagih oleh PKP.
c.   Saat harga penyerahan barang kena pajak tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh PKP.
d.  Saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh PKP, dalam hal sebagaimana dimaksud dalam huru a sampai dengan huruf c tidak diketahui.
4.    Terhutangnya pajak atas penyerahan jasa kena pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
5.    Terhutangnya pajak atas impor barang kena pajak, terjadi pada saat barang kena pajak tersebut dimasukan kedalam daerah pabean.
6.    Terhutangnya pajak atas ekspor barang kena pajak, terjadi pada saat barang kena pajak tersebut dikeluarkan kedalam daerah pabean.
7.    Terhutangnya pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan atau persediaan barang kena pajak yang masih tersisa pada saat perubahan perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu diantara saat :
a.  Ditandatanganinya, akte pembubaran oleh notaris
b.  Berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar.
c.   Tanggal penetapan pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan.
d.  Diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
8.    Terhutangnya pajak atas barang kena pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pemakaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas barang kena pajak tersebut, terjadi pada saat ditandatangainnya akte yang berkenaan oleh notaris.

Tempat Terutang PPN
Pengusaha Kena Pajak (PKP) orang pribadi, terutang pajak di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha, sedangkan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) badan, terhutang pajak di tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal atau tempat kedudukannya, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak dan Pengusaha Kena Pajak dimaksud wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang berada di wilayah kerja 1 (satu) Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk seluruh tempat terutang tersebut, Pengusaha Kena Pajak memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk  seluruh tempat kegiatan usahanya, kecuali apabila Pengusaha Kena Pajak menghendaki lebih dari 1 (satu) tempat pajak terutang, Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.

G.   Tata Cara Penghitungan PPN
1.  Cara Menghitung PPN
Pajak  pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak (DPP).

2.  Tarif PPN (pasal 7 UU PPN 1984)
a.  Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10%
b.  Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% diterapkan atas:
1)  Ekspor barang kena pajak berwujud
2)  Ekspor barang kena pajak tidak berwujud
3)  Ekspor  jasa kena pajak
c.   Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur oleh pemerintah.

3.  Dasar Pengenaan Pajak
DPP adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak terhutang.
a.  Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan baranag kena pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU ini dalam potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
b.  Penggantian adalah nilai berupa uang, termasudk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan jasa kena pajak, ekspor jasa kena pajak, atau ekspor barang kena pajak tidak berwujud.
c.   Nilai impor adalah nialai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mrngenai kepabean dan cukai untuk impor barang kena pajak, tidak termasuk PPN dan PPNBm 
d.  Nilai ekspor adalah nialai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau sehrusnya dimiinta oleh eksportir.
e.  Nilai lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai DPP.  Diatur dalam PMK No.75/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010, ditetapkan sebagai berikut :
1)  Pemakaian sendiri atau cuma-cuma, DPPnya adalah harga jual/penggantian dikurangi laba kotor.
2)  Penyerahan media rekaman suara atau gambar, DPP adalah perkiraan harga jual rata-rata.
3)  Penyerahan film cerita, DPP adalah perkiraan hasil rata-rata perjudul film.
4)  Penyerahan produk hasil tembakau, DPP adalah harga jual eceran.
5)  BKP persediaan dan/atau aktiva yang semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, DPP adalah harga pasar wajar.
6)  Penyerahan BPK/JKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan antar cabang, DPP adalah harga pokok penjualan atau harga eceran.
7)  Penyerahaan BKP kepada pedagang perantara, DPP adalah harga yang disepakati antar pedagang perantara dengan pembeli.
8)  Penyerahan BKP melalui juru lelang, DPP adalah harga lelang.
9)  Jasa pengiriman paket, DPP adalah 10% dari tagihan atau yang seharusnya ditagih.
10)   Jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata, DPP adalah 10% dari tagihan atau yang seharusnya ditagih.

H.   Pemungut PPN, Objek Pemungutan dan Restitusi PPN
Pasal 1 angka 27, Pemungut PPN yaitu :
1.    Bendaharawan pemerintah;
2.    Badan;
3.    Instansi pemerintah;
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan BKP/JKP kepada pemungut PPN.

Dalam hal PKP melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN maka, Pemungut PPN wajib memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN yang dipungut, diantaranya Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dan Kontraktor Perjanjian Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Pemungut PPN (Bendahara Pemerintah & KPPN) adapun Objek Pemungutannya yaitu setiap pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP, kecuali :
a.    Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp1 juta, dan tidak merupakan jumlah yang terpecah-pecah
b.    Pembayaran untuk pembebasan tanah
c.    Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut/ dibebaskan dari pengenaan PPN
d.    Pembayaran untuk penyerahan BBM dan bukan BBM oleh Pertamina
e.    Pembayaran atas rekening telepon
f.     Pembayaran untuk jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan
g.    Pembayaran lain yang menurut ketentuan tidak terutang PPN

Restitusi PPN adalah pengembalian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.

Cara Restitusi PPN:
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali harus memenuhi syarat:
a.    Nilai  Pertambahan Nilai paling sedikit Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
b.    Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah pabean, dan;
c.    Faktur Pajak memenuhi persyaratan formil, kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atau penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.

I.      Pembayaran, Pelaporan dan SPT Masa PPN
Batas akhir penyetoran pajak pertambahan nilai (PPN) oleh PKP paling lama adalah akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.

Batas akhir pelaporan SPT Masa PPN oleh PKP paling lama adalah akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN yaitu :
a.    Bagi PKP yang menerbitkan tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) FP dalam 1 (satu) Masa Pajak adalah menggunakan SPT Masa PPN baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
b.    Bagi PKP yang menerbitkan lebih dari 25 (dua puluh lima) FP dalam 1 (satu) Masa Pajak adalah menggunakan SPT Masa PPN dalam bentuk data elektronik.
Mulai1 Januari 2011 SPT masa PPN terdiri dari :
a.  SPT Masa PPN 1111
b.  SPT Masa PPN 1111DM
SPT Masa PPN harus disampaikan dalam keadaan lengkap, yaitu sesudah dibubuhkan tandatangan dan nama jelas baik pada SPT induk maupun pada setiap lampiran yang telah dibakukan. Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi maka PKP dianggap tidak pernah memasukkan SPT.

a.  SPT Masa PPN 1111
SPT Masa PPN 1111 ini wajib digunakan oleh setiap PKP selain PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, untuk pelaporan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011. SPT Masa PPN 1111 terdiri dari:
1)  Induk SPT Masa PPN; dan
2)  Lampiran SPT Masa PPN, baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau data elektronik, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang masing-masing diberi nomor, kode, dan nama formulir.

b.  SPT Masa PPN 1111 DM
SPT Masa PPN 1111 DM ini wajib digunakan oleh setiap PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, untuk pelaporan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak Januari 2011. SPT Masa PPN 1111 DM terdiri dari :
1)  Induk SPT Masa PPN; dan
2)  Lampiran SPT Masa PPN, baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau data elektronik, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang masing-masing diberi nomor, kode, dan nama formulir.
Dalam hal SPT dilaporkan NIHIL karena PKP tidak melakukan kegiatan penyerahan dan perolehan, maka SPT yang dilaporkan hanya Induknya, sedangkan Lampiran SPT tidak perlu disampaikan.





J.    Contoh Soal atau Kasus PPN

1)  Pengusaha kena pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai ekspor Rp.100.000.000.
Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang=
0% x Rp.100.000.000 = Rp. 0.

2)  Pengusaha kena pajak D menyerahkan BKP secara Cuma-Cuma untuk membantu korban bencana alam senilai Rp.330.000.000, termasuk laba sebesar 10%.
     PPN terhutang adalah:
     DPP =    x   harga jual termasuk laba
     DPP =   x  Rp.330.000.000= Rp.300.000.000
     PPN = 10% x Rp.300.000.000= Rp.30.000.000

3)  PT BUDI adalah PKP yang bergerak di bidang industri tekstil, padal 16 Mei 2010 melakukan penjualan aktiva berupa satu unit Truck yang semula untuk mengangkut barang dagangan seharga Rp150.000.000,- kepada PT PEMBELI BARANG BEKAS, Truck ini dibeli pada 17 Juni 2004 dengan harga Rp250.000.000,-.

Jawaban:
PPN terutang atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan (Pasal 16D) adalah:
10% x Rp150.000.000 = Rp15.000.000

















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan dan Saran
Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Pengenaan PPN sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari PPN tersebut. Jadi pengawasan terhadap pemungutan PPN harus terus diawasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar