Halaman

Jumat, 28 September 2012


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Negara Indonesia merupakan Negara berkembang, yang terdiri dari ribuan pulau yang memiliki budaya yang beraneka ragam, lautan, dan sumberdaya alam yang melimpah. Dengan perkembangan yang terjadi saat ini mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan di segala sektor demi meningkatkan pendapatan atau kas negara guna membiayai pembangunan. Dalam melakukan perubahan tersebut, pastilah memerlukan dana yang sangat besar, dan dana itu berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dimana sebagian besar bersumber dari penerimaan pajak. Ini menjelaskan bahwa pajak memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak sendiri merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.
            Sebenarnya Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam membangun pertumbuhan ekonomi karena Indonesia memiliki beraneka ragam kekayaan yang sangat kuat untuk menunjang segala kebutuhan dalam Negeri, namun pada kenyataannya Indonesia hanya mampu menjadi penonton ditengah persaingan global yang begitu selektif. Kebijakan yang sangat kontrofersialpun diambil oleh Pemerintah Indonesia yaitu dengan bergabung dalam pembebasan PPh Pasal 22 dengan Negara Cina, pada konteksnya kebijakan yang diambil sangat menggiurkan karena penduduk Cina yang begitu banyak dibandingkan jumlah penduduk Indonesia dan dapat menjadi sasaran empuk bagi para produsen dalam negeri, akan tetapi para produsen dalam negeri belum mampu untuk bersaing dengan produk-produk yang dikeluarkan oleh negeri tirai bambu tersebut. Dalam hal ini kedewasaan sangatlah diperlukan dalam melakukan suatu kebijakan karena besar atau kecilnya pendapatan dari PPh Pasal 22 tergantung pada kebijakan yang diambil oleh Peraturan Pemerintah.
           
Pajak penghasilan pasal 22 atau disingkat PPh pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. Dasar hukum PPh pasal 22 adalah UU Pajak Penghasilan nomor 36 tahun 2008, pasal 22. Untuk lebih memahami secara mendalam dan komprehensif mengenai pajak penghasilan (pph) pasal 22, maka yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu mengenai subjek PPh pasal 22, objek, pemungut, pengecualian dari pengenaan pph pasal 22, saat terutang, batas waktu setor dan lapor, serta contoh soal atau kasus yang berkaitan dengan pasal 22.



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Subjek PPh Pasal 22
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008, Subjek PPh Pasal 22 adalah Wajib Pajak yang melakukan penyerahan kepada pemerintah, Wajib Pajak badan-badan tertentu yang melakukan kegiatan impor atau melakukan penyerahan barang yang tergolong sangat mewah.
Subjek Pajak Penghasilan Pasal 22 atau PPh pasal 22 adalah siapa saja yang wajib menghitung, memungut, dan menyetorkan PPh Pasal 22 ke kas Negara. Mereka adalah:
1.    Importir.
2.    Rekanan pemerintah dan badan-badan tertentu yang merupakan pemungut PPh Pasal 22.
3.    Konsumen semen, kertas, baja, dan otomotif.
4.    Distributor dan agen pertamina serta badan usaha selain pertamina yang bergerak di bidang BBM jenis premix dan gas.
5.    Industri dan eksportir di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

B.   Objek PPh Pasal 22
Adapun objek PPh pasal 22 adalah sebagai berikut :
1.    Pembelian
a.    Pembelian barang oleh bendaharawan
b.    Pembelian bahan-bahan berupa hasil perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan untuk keperluan industri dan ekspor dari pedagangan pengepul
2.    Impor Barang
3.    Penjualan oleh Industri Tertentu
a.    Industri baja
b.    Industri semen
c.    Industri kertas
d.    Industri otomotif
4.    Penjualan BBM dan Gas oleh PERTAMINA
Premium, solar, premix/superTT, minyak tanah, gas/LPG, dan pelumas.
5.    Penjualan Barang yang tergolong sangat Mewah
Pesawat udara pribadi, kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen sangat mewah dan kendaraan sangat mewah, dll.
 
C.   Pemungut PPh Pasal 22
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 Undang-Unang Pajak Penghasilan adalah :
1.    Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang.
2.    Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan bendaharawan pemerintah pusat/daerah yang melakukan pembayaran atas pembeliaan barang.
3.    BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
4.    Bank Indonesia (BI), PT.Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia ( Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Petamina dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN.
5.    Badan usaha yang bergerak dibidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
6.    Pertamina dan badan usaha lainnya (produsen atau importir) yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, serta super TT, pelumas dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
7.    Industri dan eksportir perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan, yang ditunjuk oleh direktur jenderal pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dan pedagang pengumpul.
      Selain pemungut diatas, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 juga mengatur tentang wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut PPh pasal 22 atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah yaitu wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah, dinataranya :
1.    Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah);
2.    Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah);
3.    Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500 m² (lima ratus meter persegi);
4.    Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m² (empat ratus meter persegi);
5.    Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, Sport Utility Vehicle (SUV), Multi Purpose Vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.
D.   Pengecualian dari Pemungutan PPh Pasal 22
Yang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah :
1.    Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan Pajak Penghasilan tidak terutang Pajak Penghasilan.
2.    Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) :
a.    Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; (dengan syarat ada Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak).
b.    Barang untuk keperluan Badan Internasional yang diakui dan terdaftar pada pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia.
c.    Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau kebudayaan.
d.    Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan temmpat lain semacam itu yang terbuka untuk umum, dilakukan secara otomatis tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB).
e.    Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dilakukan secara otomatis tanpa SKB.
f.     Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya, dinyatakan dengan SKB PPh pasal 22 oleh DJP.
g.    Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah, dilakukan secara otomatis tanpa SKB.
h.    Barang pindahan, dilakukan otomatis tanpa SKB.
i.      Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, barang kiriman sampai dengan batas nilai/jumlah tertentu sesuai dengan peraturan kepabeanan.
j.      Barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum.
k.    Persenjataan, amunisi dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara.
l.      Barang dan bahan yang digunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan Negara.
m.   Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
n.    Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama.
o.    Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyebrangan, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keamanan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan dipergunakan perusahaan pelayaran niaga nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional.
p.    Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan dipergunakan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional.
q.    Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan dipergunakan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
r.     Peralatan yang dipergunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

3.    Dalam hal impor barang sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali. Contohnya adalah barang pameran, setelah pameran selesai naka barang-barang pameran tersebut harus dieskpor kembali.
4.    Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah dieskpor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor karena membutuhkan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
5.    Pembayaran atas penyerahan barang yang jumlahnya paling banyak Rp1.000.000 (bukan merupakan pembayaran yang terpecah-pecah).
6.    Pembayaran untuk keperluan pembelian BBM, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
7.    Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas dan untuk tujuan ekspor (syarat harus ada surat keterangan bebas PPh Pasal 22).
8.    Pembayaran/pencairan dana Jaringan Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (pelaksanaan tanpa surat keterangan bebas).

E.   Tarif PPh Pasal 22
1.    Tarif PPh pasal 22 atas Impor
a.    menggunakan Angka Pengenal Importir (API) sebesar 2,5% dari nilai impor;
b.    tanpa menggunakan Angka Pengenal Importir (API) sebesar 7,5% dari nilai impor;
c.    yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang;
d.    impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API (tidak memiliki API, tidak dapat impor) sebesar 0,5% dari nilai impor.
2.    Tarif PPh pasal 22 atas Pembelian yang dilakukan oleh BUMN/BUMD yang menggunakan APBN/APBD dan non APBN/APBD
Tarifnya sebesar 1,5% dari harga pembelian sebelum PPN/ PPnBM
3.    Tarif PPh pasal 22 atas Penjualan hasil produksi
a.    Industri semen, sebesar 0,25% dari dasar pengenaan pajak (DPP) PPN
b.    Industri kertas, sebesar 0,1% dari DPP PPN
c.    Industri baja, sebesar 0,3% dari DPP PPN
d.    Industri otomotif, sebesar 0,45% dari DPP PPN

4.    Tarif PPh pasal 22 atas Penjualan PERTAMINA
                SPBU Swastanisasi          SPBU Pertamina
Premium             0,3% dari penjualan        0,25% dari penjualan
Solar      0,3% dari penjualan        0,25% dari penjualan
Premix/super TT              0,3% dari penjualan        0,25% dari penjualan
Minyak tanah   
                0,3% dari penjualan
Gas LPG               
                0,3% dari penjualan
Pelumas             
                0,3% dari penjualan


5.    Tarif PPh pasal 22 atas Industri dan Eksportir yang bergerak disektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan
Tarifnya sebesar 0,5% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

6.    Tarif PPh pasal 22 atas Penjualan barang yang tergolong sangat mewah
Tarifnya sebesar 5% dari penjualan.

Pemungutan PPh pasal 22 yang bersifat tidak final terhadap wajib pajak yang tidak memiliki NPWP lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap wajib pajak yang dapat menunjukkan NPWP. Pemungutan PPh pasal 22bersifat tidak final, kecuali pemungutan PPh pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas kepada penyalur atau agen bersifat final.

Tata cara pelaporan PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut:
1.     Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus melaporkan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 7 hari setelah penyetoran. Pelaporan dilakukan menggunakan formulir surat pemberitahuan masa PPh Pasal 22 impor.
2.     Surat pemberitahuan masa PPh Pasal impor disertai lampiran:
a.     Tindasan PPUD
b.     Lembaran ke-2 SSP
c.      Lembaran ke-2 bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor, dan
d.     Daftar dari bukti pemungutan PPh Pasal 22 impor dan PPUD atau nota pembetulan.
3.     Jumlah uang yang tercantum dalam surat setoran pajak harus sama dengan seluruh penjumlahan, sebagaimana yang tercantum dalam segi hitung dari bukti pemungutan PPh Pasal 22 yang tercantum dalam PPUD atau nota pembetulan yang bersangkutan.
F.    Saat Terhutang dan Pelunasan PPh Pasal 22Jenis Pajak          Saat terhutang / pelunasan         Sifat
Atas impor barang           Bersamaan dengan saat pembayaran BEA masuk. Dalam hal pembayaran BEA masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan impor barang (PIB)      Tidak final, sebagai kredit pajak.
Atas pembelian barang dari Direktorat jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah             Pada saat pembayaran  Tidak final, sebagai kredit pajak.
Atas pembelian barang dari Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD       Pada saat pembayaran  Tidak final, sebagai kredit pajak.
Atas pembelian barang dari Bank Indonesia (BI), PT.Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), Perusahaan Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (TELKOM), PT. Perusahaan Tenaga Listerik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan Bank – bank BUMN           Pada saat pembayaran  Tidak final, sebagai kredit pajak.
Atas penjualan hasil produksi dari badan usaha yang bergerak dalam bidan usaha industeri semen, kertas, baja, dan otomotif              Pada saat penjualan       Kertas–tidak final
Semen–tidak final
Baja– tidak final
Otomotif–tdk final
Atas penjualan hasil produksi produsen atau importir bahan bakar minyak , gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas           saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang (Deliveri Order)      Kepada penyalur / agen, bersifat final. Selain penyalur / agen, bersifat tidak final.
Atas pembelian bahan-bahan industeri dan eksportir yang bergerak dalam sector perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan. Saat pembelian               




G.   Batas Waktu Setor dan Pelaporan PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap hari kerja harus disetorkan pada hari kerja berikutnya. PPh Pasal 22 yang dipungut pada tanggal 31 Maret harus disetorkan pada hari itu juga. Penyetoran dilakukan kekantor kas Negara, seperti kantor pos dan giro, serta bank pemerintah yang ditunjuk menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Pada formulir SSP tersebut harus dicantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari pemungut pajak.



Jenis Pajak          Saat Penyetoran              Saat Pelaporan
Atas impor barang           Pemungutan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus disetor ke bank persepsi atau kantor pos dan giro dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
                Paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
Atas pembelian barang dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara pemerintah baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.             Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
                Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Atas pembelian barang dari BUMN dan BUMD, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dan belanja negara (APBN) atau belanja daerah (APBD).       Pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.   Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Atas pembelian barang dari Bank Indonesia (BI), PT.Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA), Perusahaan Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (TELKOM), PT. Perusahaan Tenaga Listerik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan Bank – bank BUMN.          Paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya.           Paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Atas penjualan hasil produksi dari badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja dan industri otomotif.        Paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya.    Paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Atas penjualan hasil produksi produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas.           Sebelum surat perintah pengeluaran barang (delivery order) ditebus.  Paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Atas pembelian bahan-bahan industri dan eksportir yang bergerak dalam sektorperhutanan, perkebunan, perikanan dan pertanian.           Paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya.    Paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.




H.   Contoh Soal atau Kasus PPh pasal 22
1.     PT. FM adalah produsem makanan ringan yang memiliki API, pada bulan maret 2009 PT. FM melakukan impor barang dari Amerika dengan nilai faktur sebesar US$ 150.000,-. Biaya asuransi yang dibayar adalah US$ 1.500,- dan ongkos angkut adalah US$ 6.000,-. Tarif BEA masuk adalah 25%. Pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan PABEAN adalah Rp. 15.000.000,-. Kurs pajak pada saat melakukan clearance ke pelabuahan adalah 1US$ = Rp.9.000,-. Hitung PPh Pasal 22 yang harus dibayar!
Penyelesaian:
Menentukan Nilai Impor:
Nilai Faktur                                                                  US$ 150.000,-
Biaya Asuransi Dalam / Luar Negeri                      US$    1.500,-Biaya Ongkos Angkut                                                US$    6.000,-
Jumlah CIF (Cost Insurance and Freight)             US$ 157.500,-

Besarnya nilai CIF dalam Rupiah adalah:
US$ 157.500,- x Rp. 9.000,-                         Rp.1.417.500.000,-Ditambah:
Bea masuk: 25% x Rp. 1.417.500.000,-     Rp.    354.375.000,-
Pungutan lainnya                                          RP.     15.000.000,-
Nilai Impor                                                       Rp. 1.786.875.000,-

PPh Pasal 22 atas Impor dari Amerika adalah:
2,50% x Rp. 1.786.875.000,- =                     Rp.      44.671.875,-


2.    PT. Zemen Pekalongan adalah perusahaan semen nasional. Pada tanggal 15 April 2008 menjual 1000 sak semen kepada CV Karya Manjur, perusahaan kontraktor property, secara tunai. Harga jual semen adalah Rp30.000 per sak. Jadi, pada saat penjualan semen tersebut PT Zemen Pekalongan sudah terutang dan harus memungut PPh Pasal 22 dari CV Karya Manjur.
Penyelesaiannya :
PPh Pasal 22 =        0.25%  x 1000 x Rp30.000 = Rp     75.000
Sifat pemungutan PPh 22 ini tidak final dan dapat menjadi kredit pajak bagi CV Karya Manjur.

3.    Dalam rangka memajukan pendidikan, pada tanggal 19 April 2009 Pemda Maluku Utara membeli 20 unit laptop secara kredit dari rekanan pemerintah Toko Tekno Com yang akan didistribusikan ke sekolah-sekolah di daerah terpencil. Harga laptop tersebut adalah Rp11.000.000 per unit sudah termasuk PPN. Pemda Maluku Utara baru membayar pembelian laptop tersebut tanggal 18 Mei 2008. Jadi, pada saat pembayaran laptop tersebut Pemda Maluku Utara terutang dan harus memungut PPh Pasal 22 kepada pemungut dari Toko Tekno Com.
Penyelesaiannya :
DPP PPN =    x 11.000.000 x 20            = Rp 200.000.000
PPh Pasal 22 = 1,5% x Rp200.000.000  = Rp      3.000.000

4.    PT Penyalur Minyak Indonesia (PMI) membeli premium dari Pertamina. Dalam hal ini, PMI sebagai penyalur BBM (SPBU Swastanisasi) memiliki delivery order (DO) dari Pertamina dengan kuantitas sebanyak 10.000 liter @ Rp 1.600,-. Berapa PPh pasal 22 yang harus dilunasi oleh PT.PMI?
Penyelesaiannya :
PPh pasal 22 = 0,3% x 10.000 x 1.600 = Rp 48.000,-

5.    PT. Pelesir Jaya melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah kepada PT. JEN yaitu penjualan rumah dengan harga Rp12.000.000.000,- dan luas tanahnya 600 m2. Hitunglah PPh pasal 22 yang dipungut oleh PT. Pelesir Jaya?
Penyelesaiannya :
PPh pasal 22 =  5% x 12.000.000.000 = Rp 600.000.000,-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar